Aktivis Jakarta Soroti Pemangkasan TKD 2026: Tak Logis dan Lemahkan Otonomi Daerah
Aktivis Sugiyanto soroti kebijakan pemangkasan TKD APBN 2026. Menurutnya kebijakan itu tak logis berpotensi melemahkan pelaksanaan otonomi daerah.
Penulis: Elga Hikari Putra | Editor: Wahyu Septiana
TRIBUNJAKARTA.COM - Aktivis Jakarta dari Koalisi Rakyat Pemerhati Jakarta Baru (KATAR), Sugiyanto (SGY) menyoroti kebijakan pemangkasan Transfer ke Daerah (TKD) dalam APBN 2026.
Menurutnya, kebijakan tersebut tidak logis dan berpotensi melemahkan pelaksanaan otonomi daerah.
Ia mengatakan, komposisi ideal pembagian belanja negara antara pemerintah pusat dan daerah adalah 75 persen untuk pusat dan 25 persen untuk daerah, sebagaimana yang telah berjalan dalam tiga tahun terakhir.
"Rasio 75:25 antara belanja pusat dan daerah terbukti logis, realistis, dan berkeadilan.
Ini merupakan bentuk keseimbangan fiskal antara efisiensi nasional dan kebutuhan fiskal daerah yang harus dijaga," kata Sugiyanto kepada wartawan, Kamis (9/10/2025).
Berdasarkan data APBN 2023, belanja negara ditargetkan sebesar Rp3.041,7 triliun dengan alokasi Transfer ke Daerah dan Dana Desa (TKDD) mencapai Rp 811,7 triliun atau sekitar 26,58 persen dari total belanja negara.
Angka tersebut menunjukkan komitmen pemerintah terhadap keseimbangan fiskal antara pusat dan daerah.
Pada APBN 2024, belanja negara mencapai Rp 3.325,1 triliun. Dari jumlah tersebut, TKDD dialokasikan sebesar Rp 857,6 triliun atau 25,79 persen, sementara belanja pemerintah pusat sebesar Rp2.467,5 triliun atau 74,21 persen.
Komposisi ini relatif seimbang dan konsisten dengan pola fiskal tahun sebelumnya.
Begitu pula pada APBN 2025, di mana belanja negara ditetapkan sebesar Rp3.621,3 triliun, terdiri atas belanja pemerintah pusat dan TKDD.
Alokasi TKDD mencapai Rp919,9 triliun atau sekitar 25,40 persen, sedangkan belanja pemerintah pusat dialokasikan sebesar Rp2.701,4 triliun atau sekitar 74,59 persen.
Namun, keseimbangan tersebut berubah drastis pada APBN 2026.
Berdasarkan Undang-Undang APBN 2026 yang disahkan DPR pada 23 September 2025, alokasi TKD hanya sekitar Rp 693 triliun atau 18,03 persen dari total belanja negara sebesar Rp 3.842,7 triliun.
Sebaliknya, belanja pemerintah pusat meningkat tajam menjadi Rp3.149,7 triliun atau 81,95 persen.
"Artinya, terjadi penurunan alokasi dana transfer sebesar sekitar Rp267 triliun dari tahun sebelumnya. Ini pemangkasan hingga 29,34 persen yang jelas akan berdampak luas bagi daerah," bebernya.
SGY menjelaskan, TKD bukanlah bentuk subsidi dari pemerintah pusat, melainkan perwujudan nyata dari keadilan fiskal dan desentralisasi sebagaimana diamanatkan UUD 1945 serta Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (UU HKPD).
Menurutnya, pemotongan dana transfer dalam jumlah besar akan menurunkan kemampuan fiskal daerah dalam menjalankan fungsi pelayanan publik, membayar gaji pegawai, serta membiayai infrastruktur dasar.
Ia juga mengingatkan bahwa banyak daerah masih memiliki kapasitas fiskal rendah sehingga sangat bergantung pada dana transfer pusat.
"Kalau dana transfer dipangkas sedalam itu, daerah akan kesulitan menjaga keberlanjutan pelayanan publik.
Ini berisiko menambah ketimpangan fiskal antarwilayah dan bertentangan dengan semangat pemerataan pembangunan,' tegasnya.
SGY menuturkan, pemerintah pusat memang membutuhkan anggaran besar untuk agenda prioritas nasional seperti ketahanan pangan, energi, pendidikan, kesehatan, dan program makan bergizi gratis.
Namun, kebijakan tersebut seharusnya tidak mengorbankan kemampuan fiskal daerah.
"Menjaga komposisi 75 persen untuk pusat dan 25 persen untuk daerah adalah bentuk keadilan fiskal yang sehat.
Kalau porsi untuk daerah turun hanya 18 persen, itu jelas tidak seimbang dan bisa melemahkan semangat otonomi daerah," jelasnya.
Ia juga mendukung langkah sejumlah gubernur yang tergabung dalam Asosiasi Pemerintah Provinsi Seluruh Indonesia (APPSI) untuk mengajukan permintaan peninjauan ulang kepada Menteri Keuangan agar alokasi TKD 2026 tidak dipangkas terlalu drastis.
"Kami berharap pemerintah pusat mendengarkan aspirasi daerah.
Jangan pangkas TKD karena menjaga rasio 75:25 berarti menjaga amanat konstitusi, memperkuat otonomi daerah, dan menjamin pemerataan pembangunan di seluruh Indonesia," ujar SGY.
Pramono Punya Senjata Cerdas Hadapi Pemotongan TKD
Pramono tampil dengan langkah strategis membuat terobosan baru agar mendapatkan tambahan dana lewat berbagai program strategis.
Jakarta di bawah kepemimpinan Pramono Anung telah menyiapkan “senjata cerdas” untuk menghadapi kebijakan pemotongan TKD oleh Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa.
APBD DKI Jakarta 2026 yang diproyeksikan sebesar Rp 95,35 triliun harus terkoreksi menjadi Rp 79,06 triliun.
"Pemerintah Jakarta sama sekali tidak argue terhadap itu. Kami akan mengikuti dan akan menyesuaikan. Karena kami tahu langkah yang diambil pemerintah pusat sudah dipikirkan secara matang dan kami mengikuti sepenuhnya, termasuk penyesuaian untuk dana bagi hasil," kata Pramono usai menerima kunjungan Menkeu Purbaya di Balai Kota Jakarta, Selasa (7/10/2025).
Pramono menyiasati pemotongan DBH itu dengan program Jakarta Collaboration Fund.
"Kami meminta izin kepada Kementerian Keuangan untuk menyetujui Jakarta melakukan creative financing, di antaranya melakukan apa yang disebut dengan Jakarta Collaboration Fund," ucap Pramono.
Lewat skema Jakarta Collaboration Fund, pembangunan Jakarta tidak lagi bergantung dengan dana APBD.
Selain skema ini, Pemprov Jakarta bakal memanfaatkan dana Rp 200 triliun di Bank Himbara untuk BUMD Jakarta.
Jakarta Collaboration Fund bukan barang baru. Pramo Anung-Rano Karno sudah mengenalkan skema ini sejak kampanye Pilkada Jakarta 2024.
Ke depan, Jakarta Collaboration Fund akan berbentuk pengelola investasi.
Pemprov DKI Jakarta merancang pembiayaan inovatif ini agar kota bisa mengurangi ketergantungan pada sumber dana tradisional untuk membiayai proyek-proyek pembangunan.
Sumber dana tradisional yang dimaksud, meliputi pajak, retribusi, dividen, dana transfer pusat.
Berbagai pihak bisa turut serta mendanai pembangunan Jakarta lewat Jakarta Collaboration Fund. Skema ini membuka ruang kolaborasi antara sektor publik dan swasta dalam pembiayaan proyek strategis di ibu kota.
Menkeu Purbaya mengapresiasi ambisi Pramono tersebut untuk menciptakan Jakarta Collaboration Fund.
Ia malah meminta kepala daerah lain yang DBH-nya kena potong untuk meniru langkah Pemprov DKI Jakarta.
"Saya pikir kita akan mendukung strategi itu," ujar Purbaya.
Berita Terkait
- Baca juga: Pramono Punya Senjata Cerdas Hadapi Pemotongan TKD, Respons Menkeu Purbaya Disorot
- Baca juga: Kota Bekasi Jadi Daerah Prioritas Kampanye TKD Jawa Barat Prabowo-Gibran Dalam 20 Hari Terakhir
- Baca juga: Pemangkasan DBH Ancam Rekrutmen PJLP, Alia Noorayu: Lapangan Kerja Harus Tetap Dibuka!
Baca berita TribunJakarta.com lainnya di Google News atau langsung di halaman Indeks Berita
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.