Saat Ketua Umum Partai Gelora Indonesia Anis Matta Bicara Demokrasi di Indonesia

Anis Matta mengatakan selama 20 tahun terakhir di Indonesia, perubahan sosial terasa lebih cepat dan besar ketimbang reformasi politik

Editor: Muhammad Zulfikar
Tribunnews/JEPRIMA
Politikus sekaligus Ketua Umum Partai Gelombang Rakyat (GELORA) Indonesia Anis Matta saat berpose didepan kamera usai wawancara khusus dengan tim tribunnews di kawasan Kemang, Jakarta Selatan, Senin (11/11/2019). Anis Matta menjelaskan mengenai awal mula berdirinya partai Gelora Indonesia. 

TRIBUNJAKARTA.COM, JAKARTA - Proses demokrasi di Indonesia dan masa depannya hingga kini kerap menjadi sorotan berbagai pihak, seperti akademisi, pengamat, politisi, cendekiawan sampai masyarakat.

Menariknya isu demokrasi jugalah yang menjadi alasan Moya Institute menggelar diskusi virtual bertema demokrasi Indonesia di Simpang Jalan? pada Jumat (5/3/2021).

Dalam pembuka diskusi, Direktur Eksekutif Moya Institute, Hery Sucipto, memaparkan tentang situasi demokrasi di Tanah Air yang kini terus berubah ditandai dengan fenomena banyaknya partai politik baru muncul.

"Oleh sebab itu sebetulnya turut memperkaya khasanan demokrasi di Indonesia dengan segala perisfiwa politik terjadi, apalagi pada saat pandemi Covid-19 sekarang yang membuat jadi terbatas," kata Hery.

Ketua Umum Partai Gelora Indonesia, Anis Matta, yang didapuk sebagai pembicara utama mengatakan, selama 20 tahun terakhir di Indonesia, perubahan sosial terasa lebih cepat dan besar ketimbang reformasi politik.

Penyebabnya, menurut Anis Matta, kondisi struktural dengan bonus demografi, lalu terbentuknya kelas menengah baru yang jumlahnya cukup banyak, tren pertumbuhan populasi urban, serta infiltrasi global.

"Meski begitu, reformasi ketatanegaraan juga bisa menciptakan keseimbangan baru dan stabilitas politik Indonesia sebagai negara demokrasi terbesar di dunia," ujar Anis Matta.

Sementara itu Wakil Ketua Parta Gelora Indonesia yang juga narasumber diskusi, Fahri Hamzah, menjelaskan, sekarang ini elite di Indonesia tidak menunjukkan keseriusan berdemokrasi.

Menurut Fahri, kondisi begitu terjadi sebab telah terlalu lamanya Indonesia dalam kungkungan sistem politik kerajaan sekaligus mengalami masa kolonialisme imperialisme.

"Cita rasa, kebebasan melemah, dan harus mengikuti maunya negara sedang terjadi di Indonesia. Itu sama saja dengan kudeta yang harus dicemaskan," kata Fahri.

Narasumber lainnya, pengamat politik sekaligus Rektor Universitas Islam Internasional Indonesia, Komaruddin Hidayat, mengungkapkan, proses demokrasi di Indonesia terasa terlalu mengikat dan normatif karena menerapkan referensi dari Barat.

"Jadinya demokrasi di Indonesia lebih dekat ke informasi untuk mempengaruhi opini masyarakat, jadi market. Informasi bertemu dengan realitas masyarakat yang pluralis dan relijius membuat kadang sinkron, kadang benturan," ujar Komaruddin.

Baca juga: KRITIK Keras Yunarto Wijaya pada Moeldoko, Jadi Ketum Partai Demokrat versi KLB dan Jabat KSP

Baca juga: Moeldoko Jadi Ketum Demokrat versi KLB, SBY Kecewa dan Menyesal Beri Kepercayaan Semasa di TNI

 

Kemudian, Direktur Eksekutif NetGrit dan mantan Komisioner KPU 2012-2017, Ferry Kurnia, menuturkan, bila merujuk pada indeks demokrasi, Indonesia masih belum memberikan harapan baik sebab hanya memiliki skor 65.

Realita tersebut, bagi Ferry, di satu sisi membuat demokrasi Indonesia telah terlaksana, namun juga masih muncul kontraproduktif. Bahkan berdasarkan indeks demokrasi tersebut, Ferry membandingkan kualitas demokrasi Indonesia yang di bawah Timor Leste, Malaysia, serta Filipina.

Sedangkan pakar politik internasional, Imron Cotan, menuturkan, demokrasi sepatutnya mengirimkan apa yang menjadi kepentingan rakyat. Imron mengatakan, meski seluruh sistem politik tidak ada yang sempurna, kendati begitu demokrasi adalah yang terbaik.

Sumber: Tribun Jakarta
Halaman 1/2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved