Hukum Memakan Daging Kurban Bagi Orang yang Berkurban, Apakah Boleh?

Sebagian masyarakat beranggapan, bahwa orang yang berkurban tidak boleh memakan hewan kurbannya bersama keluarga, apakah benar?

|
TribunJakarta.com/Bima Putra
Ilustrasi - Pemotongan hewan kurban di Masjid Baiturrahman, Kelurahan Dukuh, Kramat Jati, Jakarta Timur, Minggu (10/7/2022). 

TRIBUNJAKARTA.COM, JAKARTA - Benarkah orang yang berkurban tidak boleh makan daging kurbannya?

Banyak orang masih bertanya-tanya mengenai hukum memakan daging kurban bagi mereka yang berkurban.

Sebagian masyarakat beranggapan, bahwa orang yang berkurban tidak boleh memakan daging kurbannya bersama keluarga, apakah benar?

Sebagaimana diketahui, kurban hukumnya adalah sunnah muakad alias sangat dianjurkan.

Anjuran mengenai kurban ini, salah satunya tercantum dalam QS Al-Kautsar ayat 2 sebagai ibadah untuk mendekatkan diri kepada Allah setelah salat, yang berbunyi :

“Maka laksanakanlah salat karena Tuhanmu, dan berkurbanlah (sebagai ibadah untuk mendekatkan diri kepada Allah)," (QS. Al-Kautsar: 2).

Baca juga: Kenali Ciri-Ciri Hewan Kurban yang Sakit, Jangan Sampai Salah Beli Menjelang Idul Adha

Dalam Islam, diatur tentang siapa saja yang berhak menerima daging kurban.

Selain fakir miskin dan kerabat, orang yang berkurban atau disebut shohibul kurban juga berhak menerima 1 per 3 daging yang dikurbankan.

Dari sini, sudah cukup jelas bahwa hukum memakan daging kurban bagi orang yang berkurban adalah boleh-boleh saja.

Namun menurut para ulama, ada dua perincian hukum mengenai kebolehan makan daging kurban bagi orang yang berkurban itu sendiri. 

Dikutip dari laman Kemenag Bali, hukum mengenai kebolehan makan daging kurban bagi orang yang berkurban, dibedakan berdasarkan niat dari kurban itu sendiri.

Pertama, jika kurban tersebut adalah kurban sunnah atau tathawwu’.

Para ulama sepakat, mengenai kebolehan makan daging kurban bagi orang yang berkurban dan keluarganya apabila kurban tersebut merupakan kurban sunnah atau tathawwu.

Namun, tidak kepada orang yang kurban karena nazar.

Misalnya, ada seseorang yang bernazar kalau ia berhasil dapat mengerjakan projek yang diberikan kantor, ia akan menyembelih hewan kurban saat Idul Adha.

Orang yang berkurban karena nazar, wajib menyedekahkan seluruhnya, termasuk tanduk dan kuku hewan.

Dilansir dari laman Bimas Islam Kemenag RI, terdapat perbedaan pandangan mengenai aturan mengkonsumsi daging kurban bagi mereka yang berkurban karena nazar,

Menurut ulama Syafiiyah, memakan daging kurban bagi orang yang bernazar kurban hukumnya adalah haram, alias tidak boleh.  

Begitu juga menurut pandangan ulama Hanafiyah.

Dijelaskan, bahwa orang yang bernazar kurban tidak boleh memakan daging kurbannya. Semua daging kurbannya harus disedekahkan kepada orang lain.
 
Akan tetapi, menurut ulama Malikiyah dan Hanabilah orang yang bernazar kurban boleh memakan daging kurbannya. 

Ini sebagaimana disebutkan oleh Syaikh Wahbah Al-Zuhaili dalam kitab Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu sebagai berikut :
 
"Memakan daging kurban sunnah itu boleh. Adapun kurban nazar atau kurban wajib dengan cara membeli, menurut ulama Hanafiyah, itu haram memakannya bagi yang berkurban. Menurut ulama Malikiyah dan Hanabilah, boleh makan dari kurban nazar. Orang yang berkurban, baik kurban sunnah atau nazar, dianjurkan untuk menyatukan antara makan sebagian kurban, bersedekah, dan menghadiahkan kepada orang lain."

Hukumnya Menindik Telinga Hewan Kurban Sebagai Tanda

Sementara itu, menjelang Idul Adha banyak masyarakat sudah mulai membeli hewan kurban.

Terkadang, hewan kurban tersebut diberikan tanda dengan bermacam-macam cara.

Salah satunya dengan melubangi telinga hewan untuk mencantumkan kartu atau tulisan yang berisi nama pemilik sebagai tanda.

Dalam syariat Islam, apakah ini diperbolehkan?

Menandai hewan kurban dengan cara menindik atau melubangi telinga hewan kurban juga biasa disebut dengan isy’ar ‘pemberian tanda’.

Mengutip laman resmi Bimas Islam Kemenag RI, para ulama membagi hukum isy’ar atas dua macam.

Pertama, tidak diperbolehkan apabila hewan tersebut berupa kambing atau domba.

Kedua, diperbolehkan jika hewan tersebut berupa sapi atau unta.

Menindik telinga kambing sebagai isy'ar atau pemberian tanda, tidak diperbolehkan kepada kambing dan domba karena keduanya merupakan hewan yang lemah sehingga tak boleh dilukai, sekalipun dengan tujuan untuk menandai bahwa hewan tersebut dijadikan kurban.

Imam al-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim mengatakan :
 
"Ulama sepakat bahwa kambing tidak boleh dilubangi telinganya, karena hewan tersebut sangat lemah, jika sampai terluka. Di samping itu, badan kambing pun tertutupi bulunya yang tebal (sehingga lubang yang dibolongi pada badan kambing pun tak terlihat)".

Imam al-Nawawi dalam kitab al-Majmu’ Syarh al-Muhadzab menyampaikan, apabila kambing atau domba ingin diberikan tanda, hendaknya ditandai dengan cara diberikan kalung di lehernya dan bukan dilukai.

"Hal ini karena terdapat riwayat Aisyah yang menyebutkan bahwa Rasulullah saw. suatu saat itu menyediakan kurban beberapa ekor kambing yang tertandai dengan kalung,"  (Imam al-Nawawi dalam kitab al-Majmu’ Syarh al-Muhadzab).

Namun, tidak menjadi masalah jika menindik atau melukai sapi dan unta jika bertujuan untuk memberitahukan bahwahewan tersebut hendak dijadikan kurban.

Dalil yang dijadikan dasar kebolehan isy’ar pada sapi dan unta ini, adalah hadis riwayat Imam Muslim, dari Ibnu Abbas, dia berkata :
 
'Nabi SAW melaksanakan salat Zuhur di Dzilhulaifah, kemudian beliau meminta diambilkan untanya. Lalu beliau melakukan isy’ar di sisi punuknya sebelah kanan, hingga terluka dan mengalirkan darah, lalu beliau mengalungkan dua sandal di lehernya. Kemudian beliau menaiki hewan tunggangannya. Setelah beliau berada di atas tunggangannya, beliau berihlal untuk haji. Wallahu a’lam".

Baca artikel menarik lainnya di Google News.

 

Sumber: Tribun Jakarta
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved