Haruskah Kebijakan PPDB Zonasi Disalahkan?

Carut marut PPDB sistem zonasi Tahun 2023, haruskah kebijakan PPDB zonasi Kemdikbud disalahkan?

|
Editor: Muji Lestari
Istimewa
Dosen FHISIP Universitas Terbuka, Meita Istianda. 

Pasal ini bisa ditafsirkan, pendidikan memang hak warga negara, tetapi dalam konteks membiayai, kewajiban pemerintah ada pada skup pendidikan dasar. Untuk jenjang pendidikan menengah ke atas, pemerintah tidak memiliki kewajiban.

Apakah artinya kewajiban tersebut diserahkan pada masyarakat dan mekanisme pasar?

Permasalahan kewajiban dalam membiayai atau memfasilitasi dapat dirujuk pada ayat (4) yaitu Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja
daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.

Hal ini dapat diartikan untuk jenjang menengah ke atas pembiayaan atau fasilitasi dilakukan melalui 20 persen APBN dan APBD.

Masalahnya adalah apakah political will dari APBN dan APBD telah betul betul dialokasikan untuk ini.

Karena tentu pemerintah harus juga menjalankan ayat (5) yaitu pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menunjang tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia.

Artinya ujung yang harus dicapai dari tujuan pendidikan adalah kesejahteraan manusia Indonesia.

Mengacu permasalahan di atas, di mana kekisruhan PPDB menimbulkan ketidakpuasan
pada masyarakat yang gagal menempatkan anaknya pada sekolah yang diminati, walau
telah diatur melalui program zonasi, dapat dilihat dari tiga hal.

Pertama, ketersediaan sekolah yang baik pada tingkat menengah ke atas.

Kedua, sudut pandang masyarakat terkait sekolah favorit dan tidak favorit, serta prestisius/gengsi.

Ketiga, budaya masyarakat yang menghalalkan segala cara dalam melaksanakan keinginannya.

Sebagaimana kita ketahui Indonesia memasuki era bonus demografi. Pada tahun 2022 jumlah penduduk Indonesia 275.36 juta jiwa.

Kategori usia sekolah: 5-9 tahun (23.58 persen), 15-19 tahun (21.62 persen), 20-24 tahun 23.07 persen. (Sumber: databoks).

Daya tampung sekolah negeri sangat jauh dari jumlah penduduk. Sebagai contoh untuk DKI Jakarta saja, daya tampung SMA, SMK, hanya memiliki daya tampung 29.765 siswa, dan SMK 19.206 siswa (Keputusan Gub. DKI No.441/2022).

Sementara jumlah penduduk Jakarta pada kisaran usia masuk SMA/SMK adalah 1.788.859 (https://statistik.jakarta.go.id/kependudukan-dki-jakarta-tahun-2020/), artinya hanya 0,02 persen daya tampung yang sanggup dilakukan pemerintah untuk usia SMA/SMK.

Kesimpulan

Halaman
1234
Sumber: Tribun Jakarta
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

Kardinal Keempat Indonesia

 
© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved