Viral di Media Sosial

Kemunculan Suku Togutil Halmahera Timur Bukan yang Pertama Kali, Posisinya Kini Terdesak

Video tiga orang yang diduga bagian dari Suku Togutil tengah mendatangi para pekerja di Hutan Halmahera, Maluku Utara viral di media sosial.

Kolase Bangkapos.com/Tribun
Suku Togutil Halmahera Timur, Muncul di Pertambangan Diduga Kelaparan 

TRIBUNJAKARTA.COM, JAKARTA - Video tiga orang yang diduga bagian dari Suku Togutil tengah mendatangi para pekerja di Hutan Halmahera, Maluku Utara viral di media sosial.

Terdiri dari satu orang lelaki dan dua perempuan, mereka mendatangi para pekerja di lokasi tambang.

Kedatangan mereka pun disambut hangat oleh para pekerja. Ketiganya juga diberikan makan oleh para pekerja.

Mengenal Suku Togutil

Dilansir dari Kompas.com, Wakil Rektor Universitas Halmahera (Uniera) Dr. Sirayandris J Botara MSi Teol menuturkan bahwa salah satu komunitas yang masih mendiami pedalaman Halmahera adalah etnis Tobelo Dalam.

Secara umum, masyarakat mengenal mereka sebagai suku Togutil.

Tapi, lanjut dia, sebutan ini sendiri tidak sesuai dengan status kultural dari komunitas ini.

“Suku Togutil berkaitan dengan pelabelan terhadap komunitas, ini yang diwarisi sejak lama. Masyarakat lokal mengenal ini dengan Tugo Tukil, maka jadilah Togutil, sering dikaitkan dengan naluri berburu dari komunitas ini,” kata Sirayandris.

Menurutnya, mereka justru lebih memilih untuk disebut Ohongana Manyawa.

Ohongana diartikan orang hutan dan Manyawa adalah manusia.

“Tapi bukan itu arti sebenarnya. Ohongana Manyawa lebih tepat diartikan sebagai orang yang mendiami belantara hutan Halmahera, maknanya orang yang hidup bersama alam. Ohangana Manyawa menggunakan Bahasa Tobelo sehingga disebut Tobelo Dalam,” tambahnya.

Kendati demikian, lafal berbeda terjadi di beberapa tempat.

Diantaranya Kabupaten Halmahera Tengah, yang mana bahasa Tobelo pada komunitas ini sudah dipengaruhi oleh bahasa sub etnis Tabaru, yaitu salah satu subetnis yang ada di Halmahera khususnya di Kabupaten Halmahera Barat.

Anggota komunitas ini yang sudah berbaur dengan masyarakat juga sangat jarang atau tidak lagi disebut lagi 'Ohangana Manyawa'.

Mereka ini masih dapat dijumpai di Sebagian wilayah Kabupaten Halmahera Timur, seperti Miaf, Maba Tengah, Tanjung Lili, Dorosago, Maba Utara, Waya, dan Wasilei Utara.


Sementara di Kabupaten Halmahera Tengah, seperti di Akejira, Weda Timur, Weda Utara, bisa juga ditemukan di Oba dan Oba Selatan.

Di wilayah-wilayah tersebut komunitas ini masih mempraktikkan pola hidup masyarakat nomaden atau berpindah-pindah.

Selain itu, mereka juga terkait dengan musim dan sumber makanan yang tersedia.

“Jadi karena mereka masih hidup dari alam maka cara konsmsi makanan masih alamiah,” ungkap Sirayandris.

Pola hidup masyarakatnya masih genuine. Sebagai contoh, jika seorang bayi baru lahir, mereka tidak mengingat dengan penanggalan masehi tapi dengan jalan menanam pohon atau semacam tanaman.

Kemudian tanaman itu ditanam bersamaan dengan plasenta bayi dari lahir, dan kemudian bayi itu dinamakan sesuai dengan nama pohon itu.

Jadi misal, tebu dengan bahasa Tobelo namanya Ugaka, maka anak itu diberi nama Ugaka.

Kemudian, terkait data komunitas ini, Sirayandris mengatakan masih sulit didapat yang bersentuhan dengan masyarakat, dan masih tergolong berisiko untuk menjumpai mereka.

Namun, kultur dari komunitas ini yang sering berpindah, tentu tidak mudah beradaptasi dengan masyarakat.

“Komunitas ini menurut saya adalah komunitas yang masih memelihara alam Halmahera dan merawatanya sepenuh jiwa jadi mereka perlu dilindungi,” jelasnya.

Kehidupan nomaden suku ini juga tertuang dalam jurnal milik UIN Raden Fatah Palembang.

Di mana kehidupan mereka masih sangat tergantung pada keberadaan hutan-hutan asli dan mereka bermukim secara berkelompok di sekitar sungai.

Komunitas Togutil yang bermukim di sekitar Sungai Dodaga sekitar 42 rumah tangga.

Sebagai gambaran, ia menjabarkan rumah-rumah mereka terbuat dari kayu, bambu dan beratap daun palem sejenis Livistonia sp.

Umumnya rumah mereka tidak berdinding dan berlantai papan panggung.

Suku Togutil yang dikategorikan suku terasing tinggal di pedalaman Halmahera bagian utara dan tengah, menggunakan bahasa Tobelo sama dengan bahasa yang dipergunakan penduduk pesisir, orang Tobelo.

Mereka hidup dari memukul sagu, berburu babi dan rusa, mencari ikan di sungai-sungai, di samping berkebun.

Lalu, mereka juga mengumpulkan telur megapoda, damar, dan tanduk rusa untuk dijual kepada orang-orang di pesisir.

Sementara kebun-kebun mereka ditanami dengan pisang, ketela, ubi jalar, pepaya dan tebu.

Namun karena mereka suka berpindah-pindah, dapat diduga kalau kebun-kebun itu tidak diusahakan secara intesif. Dengan begitu, sebagaimana lazimnya di daerah-daerah yang memiliki suku primitif, hutan di daerah ini tidak memperlihatkan adanya gangguan yang berarti

Masyarakat Togutil sebenarnya tidak mengakui sebutan 'Togutil' karena memiliki makna yang negatif yaitu terbelakang atau primitif.

Suku ini dulunya meyakini adanya kekuatan dan kekuasaan tertinggi yaitu Jou Ma Dutu. Oleh sebab itu mereka sangat memelihara alam.

Melansir jurnal radenfatah.ac.id, hutan adalah rumah bagi Suku Togutil, sehingga pohon dianggap sebagai sumber kelahiran generasi baru.

Posisi Suku Togutil Terdesak

Sirayandris mengatakan suku ini sudah terdesak. Sebab kemunculan Suku Togutil juga pernah terjadi pada November 2023 lalu.

Pada saat itu, mereka mendekati dan menghalangi buldoser.

"Menurut saya suku Togutil sudah sangat terdesak. Ini posisinya di titik tengah pulau Halmahera, hutan lebat. Hutan terakhir yang lagi (sedang) ditambang ini," pungkasnya.

Artikel ini diolah dari berbagai sumber.

Dapatkan Informasi lain dari TribunJakarta.com via saluran Whatsapp di sini

Baca artikel menarik lainnya TribunJakarta.com di Google News

Sumber: Tribun Jakarta
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved