Pemilu 2024

Mahkamah Konstitusi dan Terminator

Putusan MK soal ambang batas pencalonan kepala daerah membuat publik terbelah, antara kedaulatan rakyat atau kebablasan masuki ranah legislasi.

Kompas.com/Fitria Chusna Farisa
Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jalan Medan Merdeka Barat, Gambir, Jakarta Pusat 

Oleh: Zainal Arifin Ryha 
Fungsionaris KAHMI dan mantan Ketua Umum HMI Cabang Makassar.

Mahkamah Konstitusi (MK) melalui putusan No.60/PUU-XXII/2024 mengejutkan banyak pihak karena mengubah ambang batas pencalonan calon kepala dan wakil kepala daerah di Pilkada Serentak 2024. Merespons putusan tersebut, Baleg DPR buru-buru mengadakan rapat kilat guna menyiapkan RUU tentang Pilkada, tapi urung disahkan akibat tekanan massa yang curiga jika manuver DPR bermaksud menelikung putusan MK untuk kepentingan politik tertentu.

Publik pun terbelah; sebagian beranggapan putusan itu sudah selayaknya karena lebih mencerminkan asas kedaulatan rakyat, sebagian lagi beranggapan putusan tersebut kebablasan karena MK telah keluar jalur dan memasuki ranah legislasi yang menjadi domain DPR.

Putusan ini pada akhirnya melahirkan diskursus akan batas-batas kewenangan MK, juga soal penyelesaian sengketa kewenangan jika terjadi konflik antara MK dan lembaga negara lainnya.
Pasal 24C Ayat (1) UUD 1945 menyatakan sengketa kewenangan antar lembaga negara diadili oleh MK. Tetapi dalam rangka menjaga imparsialitas hakim, ada asas nemo judex idoneus in propria causa yang bermakna hakim tidak boleh menjadi hakim bagi dirinya sendiri.

Tetapi dalam praktiknya, MK telah beberapa kali mengadili sengketa kewenangan terkait dirinya selaku lembaga maupun posisi para hakim MK itu sendiri.  Salah satunya sengketa antara MK vs Komisi Yudisial (KY). Kita tahu gesekan antara KY dengan MK selama ini bersifat laten, meski intensitasnya melandai saat ini. Konflik tersebut bermula dari keputusan MK mencabut norma UU yang memberi kewenangan kepada KY untuk mengawasi perilaku etik para hakim MK. MK juga menolak permohonan judicial review yang menghendaki agar syarat usia bagi hakim MK minimal 55 tahun, di mana salah satu hakim yang mengadili perkara tersebut adalah Saldi Isra yang saat itu belum berumur 55 tahun.

Ke depan, sangat potensial terjadi sengketa kewenangan yang lebih luas lagi, misalnya antara MK dengan DPR atau lembaga negara lainnya, disebabkan MK kerap kali mendefinisikan diri dan kewenangannya sedemikian rupa sehingga terkesan melampaui kewenangan yang diberikan UU kepadanya.

Lahirnya Putusan No.60/PUU-XXII/2024 menjadikan MK tidak lagi hanya berwenang menguji konstitusionalitas norma UU terhadap UUD, tetapi juga berwenang membuat norma baru, layaknya lembaga legislatif. Padahal salah satu fungsi hukum adalah memberi batas kewenangan kepada negara (pemerintah dan lembaga negara lainnya) untuk mencegah terjadinya abuse of power oleh lembaga-lembaga negara tersebut.

Harus diketahui proses konseptualisasi UU oleh DPR bersama Presiden tidak ujug-ujug sifatnya, tetapi melalui proses yang panjang. Proses ini dimulai dengan menyerap aspirasi warga, disusul pembuatan naskah akademik dengan tiga pendekatan: filosofis, yuridis dan sosiologis, berlanjut dengan public hearing, dan seterusnya.

Sementara MK ketika putusannya memuat norma baru, hanya lewat musyawarah para hakim MK, dengan pendekatan yang lebih terbatas, sehingga tidak ada jaminan akan lebih baik dari sisi substansi dibanding norma UU sebelumnya, terutama bila menyangkut hal-hal yang sifatnya teknis seperti dalam putusan terkait UU Pilkada di atas.

Terbukti, putusan MK agar pemilu legislatif dan pemilu presiden dilaksanakan serentak menyebabkan ratusan petugas KPPS di berbagai daerah meninggal dunia karena kelelahan, disebabkan beratnya beban tugas akibat penggabungan kedua pemilu tersebut. Hal ini merupakan indikasi ketidakcermatan para hakim MK membuat putusan menyangkut teknis kepemiluan.

Lebih jauh lagi, lahirnya putusan MK yang mengubah ambang batas bagi parpol untuk mengusung calon kepala daerah merupakan bentuk inkonsistensi MK dalam putusannya. Sebelum itu MK berkali-kali menolak permohonan judicial review untuk mengubah parliamentary threshold dan presidential threshold dengan dalih open legal policy.

Tindakan memperluas kewenangan sendiri oleh MK juga tampak dalam penyelesaian sengketa pilpres. MK tidak membatasi diri untuk hanya mengadili sengketa hasil (PHPU) yang sifatnya kuantitatif, tetapi juga mengadili sengketa proses. Padahal, seperti diatur dalam UU Pemilu, hal ini merupakan kewenangan Bawaslu dan PTUN.

Selam persidangan, konsep TSM (terstruktur, sistematis, dan masif) yang dimunculkan MK pada sengketa Pilkada Jatim tahun 2008 sebagai yurisprudensi—meskipun telah diakhiri dan hanya berlaku pada rezim pilkada—senantiasa muncul kembali dalam persidangan sengketa pilpres, dengan mengambil dasar perbandingan hukum dari sengketa pilpres di beberapa negara. 

Tidak heran jika saling silang yang mengemuka dalam sidang sengketa pilpres lebih didominasi perdebatan antara saksi ahli pemohon melawan ahli pihak terkait mengenai ruang kompetensi absolut MK dalam penyelesaian sengketa. Dalil-dalil gugatan pemohon lebih banyak berupa dugaan kecurangan yang bersifat TSM, yang secara langsung berhadapan dengan pihak terkait. Tidak ada data rekapitulasi KPU yang secara serius dipersoalkan layaknya sengketa PHPU.

Kondisi seperti ini memunculkan kekawatiran publik akan ketidakpastian hukum akibat tercederainya prinsip legalitas, berikut lahirnya putusan MK yang bersifat ultra petita, yang potensial menjadi ultra vires.

Halaman
12
Sumber: Tribun Jakarta
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

Kardinal Keempat Indonesia

 
© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved