Pemilu 2024
Mahkamah Konstitusi dan Terminator
Putusan MK soal ambang batas pencalonan kepala daerah membuat publik terbelah, antara kedaulatan rakyat atau kebablasan masuki ranah legislasi.
Penulis tidak sedang "mengadili" integritas para hakim MK saat ini. Penulis percaya orang-orang baik dan berintegritas itu ada realitasnya, bahkan banyak. Tetapi pendekatan individual semacam ini tidak memiliki parameter obyektif dan terukur untuk menakar efektivitasnya. Apalagi, secara faktual, pencermatan terhadap perilaku para hakim MK selama ini memperlihatkan bahwa terdapat hakim yang berintegritas, tapi juga ada yang tercela.
Hamdan Zoelva sebagai contoh, ia menolak keharusan mengikuti fit and proper test agar terpilih kembali untuk periode selanjutnya. Bagi Hamdan, keharusan itu akan merendahkan martabatnya sebagai ketua MK dan memilih mundur dari proses pencalonan, meskipun sayup-sayup terdengar akan adanya jaminan ia bakal terpilih kembali jika mengikuti fit and proper test seperti pertama kali mendaftar sebagai hakim MK.
Tapi kita juga tahu, dua hakim MK dibui karena terlibat suap. Juga tujuh dari sembilan hakim MK saat ini menyandang status pelanggar etik. Salah satu hakim bahkan sudah tiga kali terbukti melanggar etik, tetapi tidak kunjung diberhentikan seperti ketentuan yang berlaku di MK. Tersiar kabar, hakim bersangkutan bahkan diam-diam aktif melobi anggota DPR untuk terpilih kembali sebagai hakim MK.
Menimbang ini, penulis tidak menolak pendekatan-pendekatan yang sifatnya individual, yang menempatkan faktor integritas para hakim MK sebagai variabel paling determinan untuk menjamin bahwa putusan yang dihasilkan berkualitas dan adil. Meskipun begitu, penulis lebih percaya pada pendekatan sistemis-struktural yang lebih awet untuk menjamin obyektivitas dan imparsialitas putusan yang dihasilkan MK.
Penulis setuju, mungkin sudah saatnya bagi bangsa ini untuk melakukan evaluasi menyeluruh terhadap eksistensi MK, merespons usulan yang menggema di ruang publik agar dilakukan revisi UU MK guna memberi batasan yang tegas terhadap kewenangan MK. Di saat bersamaan, terbesit keraguan di benak penulis: jangan-jangan MK, berdasarkan kewenangan yang dirumuskannya sendiri saat ini, akan kembali membatalkan norma UU baru yang membatasi kewenangannya, seperti pengalaman sebelumnya.
Fenomena MK yang mendefinisikan kewenangannya nyaris tanpa limit, mengingatkan penulis pada sosok Terminator dalam film yang diperankan Arnold Schwarzenegger berjudul "Terminator Judgement Day." Film ini berkisah tentang perang manusia melawan mesin-mesin canggih ciptaannya sendiri, para cyborg yang ingin memusnahkan umat manusia dan menguasai dunia dan yang karena saking canggihnya, tak lagi bisa dikontrol dan dikendalikan oleh manusia pembuatnya.
Lantas jika kemudian MK menjelma layaknya terminator, siapa yang harus berperan sebagai Kyle untuk menghentikan kebrutalan para terminator itu?
PKS Buka Suara soal Faktor Kekalahan di Pilkada Depok, Masih Mendebat Kejenuhan Warga 20 Tahun |
![]() |
---|
Pilkada Telah Usai, GMKI Jakarta Suarakan Masyarakat Kembali Bersatu |
![]() |
---|
Ulasan Lengkap Pilkada Depok 2024: Peta Suara 11 Kecamatan, Nasib PKS hingga Alasan Imam-Ririn Kalah |
![]() |
---|
Aktivis Pemuda NTT di Jakarta Nilai Pilkada 2024 Kondusif: Tidak Terjadi Hal yang Dikhawatirkan |
![]() |
---|
Jenuh dan Karakter Rasional Warga Kota Bekasi Jadi Faktor Rendahnya Partisipasi Pemilih Pilkada 2024 |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.