Jalan Terjal Gembong Warsono: Loyalis PDI Sejak SMA, Tak Menyerah Meski Hattrick Gagal Anggota DPRD

Penulis: Elga Hikari Putra
Editor: Acos Abdul Qodir
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Sekretaris DPD PDI Perjuangan DKI Jakarta, Gembong Warsono saat berbincang dengan manager content TribunJakarta.com di Kantor DPD PDI Perjuangan, Tebet, Jakarta Selatan, Kamis (2/2/2023).

"Akhirnya saya dipanggil lagi oleh bu Mega. Ditanya kamu saya turun nomor mau ga? saya bilang Jakarta Bara itu tiga kursi sudah pasti bu.

Jadinya saya yang tadinya daftar sementara nomor 1, daftar tetap jadi nomor 3 karena kan calonnya itu selang seling laki perempuan," papar Gembong.

Namun lagi-lagi seolah alam belum merestui Gembong sebagai legislatif di DKI Jakarta. Sebab, ada keputusan dari Mahfud MD selaku Ketua Mahkamah Konstitusi waktu itu terkait digunakannya sistem proporsional terbuka di Pemilu 2009.

"Ya, saya di Jakarta Barat batu tiga bulan, siapa yang kenal Gembong, yaudah gagal maning," tuturnya.

Dengan diterapkannya sistem proporsional terbuka, Gembong kemudian pindah dari pengurus DPD PDI Perjuangan DKI Jakarta menjadi Ketua DPC Jakarta Selatan agar namanya dikenal di Jakarta Selatan.

Upaya itu terbukti ampuh. Di 2014, atau pada percobaan keempatnya, Gembong yang maju dari dapil Jakarta 7 yang meliputi Kecamatan Kebayoran Lama, Kebayoran Baru, Setiabudi, Cilandak dan Pesanggrahan berhasil lolos ke DPRD DKI Jakarta.

Jabatan itu berhasil dipertahankannya sampai Pemilu 2019 kala Gembong kembali lolos dengan perolehan 17.739 suara.

Pada periode 2019-2024, Gembong pun dipercaya menjabat Ketua Fraksi PDI Perjuangan di DPRD DKI Jakarta. 

"Enggak ada yang setahan itu. Modal saya ya cuma teken, tekun, tekan," ujar Gembong bila mengenang perjuangannya.

Matang Sebelum Waktunya

Istilah itu diungkapkan sendiri oleh Gembong atas perjalanan hidup nan berliku yang dilaluinya.

Gembong mengatakan dirinya sudah hidup mandiri sejak SMP. Ketertinggalan daerah asalnya yakni di Kecamatan Giritontro, Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah membuat orang tua Gembong menitipkan dia ke kerabatnya.

"Pas SMP saya masuk di SMP 1 Giritontro. Jaraknya mungkin ada 10 km, tiap hari jalan kaki saya enggak kuat.

Oleh bapak, saya dititipin ke saudara saya di Kecamatan Wuryantoro, itu udah sedikit ke kotaan lah dibanding tempat saya yang kecamatan termiskin saat itu," kata Gembong.

Lantaran tinggal di rumah saudara, Gembong berusaha menjaga nama baik keluarganya dengan membantu mengerjakan pekerjaan rumah.

"Akhirnya saya ngenger, istilahnya itu balas budinya dengan tenaga. Saya bersihin rumah setiap hari," kata Gembong.

"Sekelas SMP saya harus jaga nama baik orang tua. Bahasa saya ini mateng sebelum waktunya," lanjut anak keempat dari lima bersaudara dari pasangan petani ini.

Baca juga: Cerita Balik Layar Anies Baswedan Jadi DKI 1, Peran Pengusaha dan Politikus Senior

Selepas SMP, Gembong yang bercita-cita menjadi mantri pertanian memutuskan sekolah di Solo. Namun hanya beberapa bulan di sana, ia diminta ayahnya untuk ikut saudaranya yang tinggal di Pondok Gede.

"Baru tiga bulan saya sekolah di Solo, kakak sepupu saya yang di Jakarta pulang ke kampung.

Bapak saya bilang surub bawa saya ke Jakarta karena kalau sekolah di Solo gajadi orang karena kan ga ada yang ngawasin, karena kan saya ngekos di Solo," kata Gembong.

Hingga akhirnya Gembong pindah dan bersekolah ke SMA 22 jarak jauh yang kemudian berganti nama menjadi SMA 48 Jakarta.

"Saya ini angkatan pertama dari SMA 48," tuturnya.

Baca artikel menarik lainnya TribunJakarta.com dI Google News

Berita Terkini