Pedagang Tolak Pasal Larangan Menjual Rokok dalam Raperda KTR, Gelar Aksi di Gedung DPRD DKI

Pedagang gelar aksi unjuk rasa soal Raperda Kawasan Tanpa Rokok di depan Gedung DPRD DKI Jakarta pada Selasa, (7/10/2025). 

TribunJakarta.com/Yusuf Bachtiar
AKSI UNJUK RASA - Massa peserta aksi menggelar unjuk rasa menolak pasal larangan menjual rokok di Raperda KTR DPRD DKI Jakarta, Selasa (7/10/2025). 

TRIBUNJAKARTA.COM, JAKARTA PUSAT - Pedagang dari berbagai penjuru Ibu Kota menggelar aksi unjuk rasa di depan Gedung DPRD DKI Jakarta pada Selasa, (7/10/2025). 

Kedatangan massa menuntut penghapusan pasal yang melarang penjualan rokok di Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Kawasan Tanpa Rokok (KTR)

Pantauan TribunJakarta.com, massa aksi berkumpul di depan gedung DPRD DKI Jakarta sambil membentangkan spanduk dan berorasi.

Mereka yang menyuarakan aspirasi di gedung DPRD tergabung dalam Asosiasi Pedagang Kaki Lima Indonesia (APKLI)

Para pedagang menilai, sejumlah pasal dalam Raperda tersebut berpotensi menghilangkan mata pencaharian mereka, terutama terkait larangan penjualan produk rokok di sejumlah zona.

Salah satu pedagang, Yono, mengaku resah dengan aturan pelarangan penjualan rokok di radius 200 meter dari sekolah serta perluasan kawasan tanpa rokok hingga ke warteg, los, toko, dan pasar tradisional.

“Aduh, sekarang makin susah. Modal susah mutar, pembeli sedikit. Jualan rokok bantu banget buat mutarin dagangan lain. Orang beli rokok biasanya beli jajanan juga. Kalau dilarang, ya habis sudah,” keluh Yono.

Hal senada disampaikan Andi, pedagang asal Tanjung Priok. Ia menilai aturan tersebut akan makin memberatkan pedagang kecil yang sudah berjuang di tengah turunnya daya beli masyarakat.

“Lihat aja tuh, apa-apa serba mahal. Kalau makin diribetin dengan izin jual rokok dan larangan begini, kebutuhan harian makin susah dipenuhi,” ujar Andi.

Sementara itu, Ketua Umum Asosiasi Pedagang Kaki Lima Indonesia (APKLI) Ali Mahsun mengatakan, aksi ini merupakan lanjutan dari deklarasi penolakan Raperda KTR yang telah disampaikan beberapa waktu lalu.

Menurutnya, proses penyusunan Raperda tersebut terkesan terburu-buru dan kurang memperhatikan kondisi ekonomi pedagang kecil.

“Kami melihat penyusunan Raperda KTR ini dipaksakan tanpa memikirkan kami, pedagang kecil yang hidupnya pas-pasan. Pendapatan hari ini untuk makan besok,” tegas Ali.

Ia pun meminta DPRD DKI Jakarta tidak gegabah dalam membuat aturan yang bisa menekan ekonomi rakyat kecil.

“Raperda KTR ini sangat menekan dan menggerus usaha rakyat kecil yang selama ini jadi tulang punggung perekonomian ibu kota,” tambahnya.

Aksi protes pedagang itu akhirnya diterima oleh Wakil Ketua Bapemperda DPRD DKI Jakarta, Jhonny Simanjuntak dari Fraksi PDI Perjuangan.

Jhonny menegaskan, aspirasi para pedagang akan dipertimbangkan dalam tahap finalisasi pembahasan Raperda KTR.

“Kami pastikan suara pedagang kecil, UMKM, warung, dan lainnya akan dibahas. Kami mencari jalan tengah yang win-win solution,” kata Jhonny.

Ia menambahkan, Bapemperda berkomitmen menjunjung tinggi partisipasi publik yang inklusif, adil, dan berimbang.

“Kita pastikan proses penyusunan perda tidak berat sebelah dan tidak menyakiti pelaku ekonomi kerakyatan,” tutupnya.

Raperda Bisa Timbulkan Masalah Sosial

Gelombang penolakan terhadap pembahasan Rancangan Peraturan Daerah mengenai Kawasan Tanpa Rokok (Raperda KTR) disuarakan sejumlah pihak.

Diketahui, pansus Raperda KTR di DPRD DKI Jakarta telah melakukan finalisasi keseluruhan terhadap aturan tersebut.

Di mana dalam draft finalisasi itu tidak ada perubahan berarti terkait pasal-pasal yang dianggap kontroversial dan mendapat penolakan.

Di antaranya terkait perluasan kawasan tanpa rokok pada tempat hiburan seperti hotel, restoran, kafe, bar, live musik dan sejenisnya. 

Menurut Ketua Badan Pimpinan Daerah Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (BPD PHRI) DKI Jakarta, Sutrisno Iwantono, sikap Pansus Raperda KTR yang tak mendengarkan aspirasi dari pelaku usaha, diproyeksikan akan menambah beban berat sektor jasa pariwisata. 

Iwantono mengatakan, jika tidak ditanggulangi dengan baik, proyeksi PHRI, pendapatan daerah makin tergerus, target pajak juga sulit dicapai karena pendapatan hotel akan menurun. 

“Kami melihat masukan dan aspirasi dari industri hiburan itu kurang didengarkan ya. Padahal dampak dari aturan ini cukup nyata, terutama bagi UMKM. 

Langkah-langkah konsolidasi akan kami lakukan, dengan tetap membangun komunikasi yang baik, yang sehat antara pelaku usaha dengan pemerintah untuk mencarikan jalan keluar yang terbaik, win-win solution, supaya dampaknya tidak terlalu memberatkan,” terang Iwantono, Selasa (7/10/2025). 

Diketahui pada 2025 ini industri perhotelan dan restoran di Tanah Air sudah terpukul, dengan 96,7 persen hotel melaporkan penurunan tingkat hunian. 

Banyak usaha terpaksa mengurangi karyawan dan melakukan efisiensi. Padahal industri ini menyerap lebih dari 603.000 tenaga kerja dan menyumbang 13 persen Pendapatan Asli Daerah (PAD) DKI Jakarta. 

Jika tidak dilakukan urun rembug antara pelaku usaha dan pemerintah, Iwantono mengkhawatirkan situasi ini akan menimbulkan masalah-masalah sosial baru. 

“Pada akhirnya pasti timbul masalah-masalah sosial, daya beli masyarakat yang turun, pajak juga turun. 

Oleh karena itu, kami masih menginginkan dialog yang baik, diskusi antara asosiasi pelaku usaha dengan pemerintah dan stakeholder lain supaya bisa menemukan jalan yang terbaik. 

Harapan kami, legislatif maupun eksekutif membuka diri, membuka pintu untuk dialog,” tegas Iwantono. 

Sementara itu, perwakilan eksekutif, Afifi, Ketua Sub Kelompok Peraturan Perundang-undangan Bidang Kesehatan Rakyat Biro Hukum Pemprov DKI Jakarta menegaskan bahwa aspirasi yang disampaikan oleh pedagang kecil, pelaku UMKM masih didengarkan agar tidak dirugikan sesuai dengan komitmen Gubernur DKI Jakarta, Pramono Anung. 

"Setelah selesai pembahasan di Pansus akan kami sampaikan ke Pak Gubernur dan kalau memungkinkan akan di-rapimkan agar masukkan semua SKPD terkait itu bisa kita serap. 

Jadi, pada prinsipnya, draftnya masih terbuka, masih dinamis. Masukan dari masyarakat ini masih memungkinkan untuk dimasukkan," ujar Afifi.

Berita Terkait

Baca berita TribunJakarta.com lainnya di Google News atau langsung di halaman Indeks Berita

Sumber: Tribun Jakarta
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved