Jakarta Masih Banjir dan Macet, Pemprov DKI Dituduh Langgar HAM

LBH Jakarta menuding Pemprov DKI gagal menata kota hingga menyebabkan dua persoalan klasik terus berulang, yaitu banjir dan macet.

TribunJakarta.com
ILUSTRASI BANJIR - Kendaraan melintasi banjir yang masih menggenangi wilayah Ring Road Kembangan atau tak jauh dari kantor Wali Kota Jakarta Barat, Selasa (8/7/2025). (TRIBUNJAKARTA.COM/ELGA PUTRA) 

TRIBUNJAKARTA.COM, GAMBIR - Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta menuding Pemprov DKI gagal menata kota hingga menyebabkan dua persoalan klasik terus berulang, yaitu banjir dan macet.

Kondisi ini dinilai tak hanya mencerminkan ketidakbecusan pemerintah, tapi juga bentuk pelanggaran terhadap hak asasi manusia (HAM).

Dalam rilis pers bernomor 447/RILIS-PERS/LBHJ/XI/2025, LBH menegaskan bahwa banjir dan macet merupakan gejala rapuhnya tata kelola ibu kota.

Sejak pertengahan Oktober 2025, hujan deras mengguyur Jakarta membuat puluhan wilayah tergenang.

Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) DKI Jakarta mencatat 54 RT terendam banjir pada Kamis (30/10/2025) lalu dan kemacetan parah juga terjadi di beberapa titik.

“Banjir dan kemacetan adalah fakta yang menunjukkan kerapuhan Kota Jakarta. Setiap tahun terjadi banjir besar tanpa adanya evaluasi yang berarti,” tulis LBH Jakarta dalam keterangannya, dikutip Minggu (2/11/2025).

Banjir dan Macet Picu Kerugian

LBH menyebut, kerugian ekonomi akibat banjir di Jakarta pernah mencapai lebih dari 900 juta dollar AS.

Sedangkan kemacetan yang menyebabkan penurunan produktivitas masyarakat, polusi udara, dan dampak lainnya menimbulkan kerugian hampir Rp100 triliun.

Jumlah kendaraan bermotor pun terus melonjak hingga 24 juta unit membuat 79,2 persen warga masih bergantung pada kendaraan pribadi.

Banjir dan Macet Dianggap Langgar Hak Dasar Warga

Masalah banjir dan kemacetan yang tak kunjung bisa diatasi dinilai LBH Jakarta sebagai bentuk pelanggaran terhadap HAM karena berdampak langsung pada kehidupan warga.

“Banjir dan macet berpotensi melanggar hak atas tempat tinggal, hak atas kesehatan, hak atas pendidikan, hak atas pekerjaan, hingga hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat,” ujarnya.

Menurut LBH Jakarta, banjir menyebabkan rusaknya rumah warga, memunculkan penggusuran paksa, hingga menurunkan kualitas kesehatan karena penyakit yang muncul akibat kerusakan sanitasi dan air bersih.

Sementara kemacetan menimbulkan polusi udara, stres, dan gangguan kesehatan mental.

“Banjir juga memutus akses pendidikan dan pekerjaan. Waktu yang habis di jalan mengurangi produktivitas serta waktu beristirahat sebagai hak asasi manusia,” tuturnya.

Pemerintah Dinilai Gagal Tata Kota secara Manusiawi

LBH Jakarta menilai, akar masalah banjir dan macet yang terus berulang ini terletak pada kegagalan pemerintah menata kota secara berkeadilan ruang yang berorientasi pada manusia dan lingkungan.

“Banjir dan kemacetan adalah gejala kegagalan pemerintah dalam menata kota. Penanganan masalah banjir masih berorientasi betonisasi,  uman konservasi,” ucapnya.

LBH juga turut menyoroti buruknya koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah terkait penanganan banjir dan kemacetan, serta banyaknya ‘solusi palsu’.

Contohnya terkait pembangunan Giant Sea Wall yang dinilai justru berpotensi merusak lingkungan.

Untuk itu, Pemprov DKI Jakarta bersama DPRD didesak untuk memperbaiki tata kelola kota dengan menghentikan pembangunan di zona hijau, memperluas akses air bersih, serta mengelola transportasi umum secara serius agar jumlah pengguna kendaraan pribadi bisa ditekan.

“Pemerintah memiliki tanggung jawab hukum untuk membenahi permasalahan banjir dan macet di Jakarta,” ujarnya.

Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta menuding Pemprov DKI gagal menata kota hingga menyebabkan dua persoalan klasik terus berulang, yaitu banjir dan macet.

Baca berita TribunJakarta.com lainnya di Google News atau langsung di halaman Indeks Berita

Sumber: Tribun Jakarta
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved