Dalami Kebijakan BLBI Era Megawati, Demokrat Minta Ketua KPK Mundur Jika Tak Sanggup Tangani BLBI
"Kita kan tidak selalu menyoroti policy, kita menyoroti pelaksanaan. Policy pada waktu itu kita tidak permasalahkan," ujar Ketua KPK Agus Rahardjo.
TRIBUNJAKARTA.COM, JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akan mendalami soal pelaksanaan kebijakan Presiden terkait pemberian Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) kepada pengusaha Sjamsul Nursalim.
Diketahui ketika ada BLBI presiden saat itu Megawati Soekarnoputri mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2002.
Baca: Jurus Burjo Pengacara Setya Novanto, Fredrich Yunadi Berhasil
Inpres isinya mengenai Pemberian Jaminan Jaminan Kepastian Hukum Kepada Debitur yang Telah Menyelesaikan Kewajibannya atau Tindakan Hukum Kepada Debitur yang Tidak Menyelesaikan Kewajibannya Berdasarkan Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham.
"Kita kan tidak selalu menyoroti policy, kita menyoroti pelaksanaan. Policy pada waktu itu kita tidak permasalahkan," ujar Ketua KPK Agus Rahardjo.
Agus memberi sinyal bahwa pengembangan perkara bisa mengarah pada korporasi.
KPK disebut mengincar PT Gajah Tunggal, perusahaan milik pengusaha Sjamsul Nursalim.
"Insya Allah. Saya tidak perlu sebutkan nama," kata Agus.
Dalam waktu dekat, mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Temenggung akan segera disidangkan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.
Syafruddin merupakan tersangka kasus penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) dalam Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) kepada Sjamsul Nursalim, selaku pemegang saham pengendali Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI) tahun 2004.
Kasus SKL BLBI terjadi pada April 2004 saat Syafruddin mengeluarkan surat pemenuhan kewajiban atau yang disebut SKL terhadap Sjamsul Nursalim, selaku pemegang saham pengendali BDNI, yang memiliki kewajiban kepada BPPN.
Baca: Tengah Memperbaharui Tampilan Untuk Tarik Wisatawan, Ini Sejarah Pulau Bidadari
SKL itu terkait pemenuhan kewajiban penyerahan aset oleh sejumlah obligator BLBI kepada BPPN.
KPK menduga, Syafrudin telah menguntungkan diri sendiri, orang lain atau korporasi, yang telah menyebabkan kerugian keuangan negara.
Audit investigatif Badan Pemeriksa Keuangan tertanggal 25 Agustus 2017, terkait kasus ini menyebutkan, kerugian keuangan negara adalah Rp 4,58 triliun.
Nilai kerugian negara ini lebih tinggi daripada yang sebelumnya diperkirakan KPK sebesar Rp 3,7 triliun.
