Putusan MK Soal Hasil Pilkada Yalimo Dinilai Cederai Prinsip Demokrasi, SDI Ajukan Eksaminasi Publik

Putusan Mahkamah Konstitusi dalam sengketa Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Kabupaten Yalimo Provinsi Papua dinilai sangat dangkal dan kontroversi.

Editor: Wahyu Septiana
ISTIMEWA
Ilustrasi hukum - Putusan Mahkamah Konstitusi dalam sengketa Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Kabupaten Yalimo Provinsi Papua dinilai sangat dangkal dan kontroversi. 

Mahkamah Konstitusi (MK) lewat putusan bernomor 145/PHP.BUP-XIX/2021, mendiskualifikasi calon bupati Pilkada Yalimo 2020, Erdi Dabi dan memerintahkan KPU menggelar Pemungutan Suara Ulang (PSU).

Baca juga: Polda Metro Jaya Kerahkan 350 Personel Amankan Demo Buruh di Mahkamah Konstitusi Hari Ini

Pengurus Pusat Sarekat Demokrasi Indonesia (PP SDI) menilai putusan sengketa Pilkada Yalimo cacat hukum.

Mereka menyatakan demikian usai melakukan eksaminasi terhadap putusan MK tersebut.

Ketua Umum PP SDI Andrean Saefudin mengatakan ada 5 kejanggalan yang ditemukan dalam putusan MK nomor 145/PHP.BUP-XIX/2021 itu.

"Setidaknya ada 5 kejanggalan dari putusan MK Nomor 145/PHP.BUP-XIX/2021," kata Andrean dalam keterangannya, Jumat (19/11/2021).

Pertama, MK dipandang tak konsisten menerapkan Pasal 158 ayat (2) huruf a UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang.

Putusan MK juga dinilai kontroversi dan mencederai prinsip demokrasi di lingkup pemilihan umum, serta asas keadilan dan kepastian hukum.

MK juga diduga menyalahi kewenangannya karena mendiskualifikasi pasangan calon bupati dan wakil bupati terkait persyaratan.

Baca juga: Jenderal Rusdi Karepesina: Kekaisaran Sunda Nusantara Diakui Mahkamah Internasional

Padahal menurut Andrean, kewenangan sengketa administrasi ada pada Bawaslu dan PTUN sebagaimana aturan undang-undang.

"Karena sengketa administrasi merupakan kewenangan Bawaslu dan Pengadilan Tata Usaha Negara sesuai dengan ketentuan perundangan," ujarnya.

MK pun dinilai tak berwenang memberi pertimbangan hukum terkait kasus pidana umum yang melibatkan Erdi Badi karena telah diselesaikan secara hukum adat Papua.

Sehingga menurutnya perkara tersebut tak dapat lagi diperiksa di Pengadilan Negeri.

Mengingat dalam putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor 1664K/Pid/1988, seseorang tidak dapat dihukum 2 kali untuk kasus yang sama.

"Kelima MK diduga telah melanggar hukum acara yang sudah ditetapkan oleh undang-undang karena tidak melakukan pemeriksaan terhadap saksi fakta dan ahli," terangnya.

Adapun hasil eksaminasi publik ini telah disampaikan PP SDI kepada pemerintah dalam hal ini Presiden Joko Widodo, dan lembaga serta instansi terkait.

Baca juga: Gugatan Pegawai KPK Ditolak Seluruhnya oleh Mahkamah Konstitusi

Halaman
123
Sumber: Tribunnews
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved