Terungkap Perdebatan Sengit 2 TNI Sebelum Buang Sejoli ke Sungai Serayu, Pangkat Kecil Tak Berkutik
Sidang dakwaan Kolonel Inf Priyanto di Pengadilan Militer Tinggi II Jakarta hari ini, Selasa (3/8/2021), Menguak fakta penting soal kasus tabrak lari.
Penulis: Bima Putra | Editor: Jaisy Rahman Tohir
TRIBUNJAKARTA.COM - Sidang dakwaan Kolonel Inf Priyanto di Pengadilan Militer Tinggi II Jakarta hari ini, Selasa (3/8/2021), Menguak fakta penting soal kasus tabrak lari sejoli di Nagreg, Kabupaten Bandung 8 Desember 2021 silam.
Terungkap bahwa sempat terjadi perdebatan pelik sebelum, korban, Handi Saputra (17) dan Salsabila (14) dibuang ke Sungai Serayu.
Namun tinggi pangkat TNI berbicara lebih banyak.
Keputusan Kolonel Priyanto yang berpangkat perwira menengah itu mutlak dijalankan.
Kopda Andreas yang sudah membantah dan menyangkal untuk membuang korban berkali-kali tak berkutik.
Baca juga: Saya Pernah Bom Rumah, Gak Ketahuan Ucap Kolonel P ke Anak Buahnya Sebelum Buang Sejoli ke Sungai
Kondisi tersebut tergambarkan dalam berkas dakwaan Oditurat Militer Tinggi II Jakarta.
Oditur Militer Tinggi II Jakarta, Kolonel Sus Wirdel Boy, mengungkapkan kronologi kejadian dengan detail termasuk adu argumen sengit itu.
Kronologi Tabrakan
Saat itu 8 Desember 2021, tiga anggota TNI, Kolonel Inf Priyanto, Koptu Ahmad Soleh dan Kopda Andreas Dwi Atmoko menaiki mobil melintas di Jalan Raya Nagreg menuju Yogyakarta.
Dalam perjalanan tersebut, mobil Isuzu Panther yang dikemudian Andreas menabrak sepeda motor Satria FU yang dikemudian Handi dengan penumpang Salsabila.

"Sekira pukul 15.30 WIB tiba di Jalan Raya Nagreg. Kendaraan yang dikemudian saksi dua bertabrakan dengan sepeda motor Satria FU," kata Wirdel di Pengadilan Militer Tinggi II Jakarta, Selasa (8/3/2022).
Kencangnya benturan mengakibatkan kedua korban terpental dalam keadaan Handi tergeletak dekat ban depan, sementara Salsabila masuk ke dalam kolong mobil Isuzu Panther.
Sejumlah warga di sekitar lokasi yang diperiksa jadi saksi oleh penyidik Puspom TNI sempat berupaya menolong korban sembari menunggu jajaran Unit Laka Satlantas setempat tiba.
Namun setelah beberapa saat ditunggu petugas kepolisian setempat tidak kunjung datang, sehingga Priyanto 'berinisiatif' membawa kedua korban dengan memasukkan ke dalam mobil.
Saat Handi hendak dimasukkan ke dalam bagasi tersebut empat warga yang jadi saksi mendapati Handi dalam keadaan hidup, bahkan sempat merintih menahan sakit akibat luka tertabrak.
Baca juga: Sidang Dakwaan, Handi Saputra Merintih Kesakitan Tapi Dibuang Kolonel Priyanto ke Sungai Serayu
"Saksi empat, lima, enam, dan tujuh melihat saudara Handi Saputra dalam keadaan hidup dan masih bernafas serta bergerak seperti merintih menahan sakit," ujar Wirdel membacakan dakwaan.
Sementara Salsabila yang dimasukkan ke bagian kursi penumpang sudah meninggal dunia, karena saat dicek oleh saksi remaja perempuan tersebut sudah tidak menghembuskan nafas.
Merujuk keterangan saksi, Wirdel menuturkan saksi mendapati Salsabila mengalami luka berat di bagian kepala sehingga mengalami pendarahan dan bagian kaki kanan patah.
"Saksi berkata jangan dulu dibawa sebelum ada petugas atau keluarga datang. Namun terdakwa memerintahkan saksi dua dan tiga untuk segera masuk ke dalam mobil," tutur Wirdel.
Debat Kopda dengan Kolonel

Andreas yang mengemudikan Panther itu diminta untuk segera menginjak gas menjauh dari lokasi penabrakan.
Awalnya Andreas merasa bersalah karena sudah menabrak kedua korban.
"Saksi dua berkata 'kasihan bapak, itu anak orang. Pasti dicari orang tuanya, mending kita balik ke Puskesmas yang ada di pinggir jalan tadi'," kata Wirdel.
Tapi Priyanto yang saat kejadian duduk di kursi depan sebelah kiri Andreas justru membentak prajurit TNI itu agar diam dan mengikuti perintahnya saja mengemudikan mobil.
Meski diminta diam, Andreas yang secara pangkat di bawah Priyanto kembali mendebat mantan pimpinannya itu agar mereka tidak tidak membuang kedua korban ke Sungai Serayu.
Baca juga: Terungkap di Persidangan: Selain Buang Sejoli, Kolonel Priyanto Pernah Lakukan Hal Sadis Lainnya
Rasa bersalah benar-benar menghantui Andreas yang berada di kursi kemudi.
Tapi Priyanto Kasi Intel Komando Resor Militer 133/Nani Wartabone, Kodam XIII/Merdeka tetap memkasa Andreas menuruti perintahnya untuk kabur dan membuang kedua korban.
Andreas yang berpangkat jauh lebih rendah tidak berkutik.
"Kemudian dijawab terdakwa (Priyanto) 'Ikuti perintah saya, kita lanjut saja'. 'Kamu jangan cengeng. Nanti kita buang saja mayatnya ke Sungai setelah sampai di Jawa Tengah'," ujar Wirdel menirukan.
Berulang kali Andreas menyarankan agar Priyanto mengurungkan niat kejinya membuang korban, tapi perwira menegah TNI AD itu tetap saja tidak menerima saran yang diberikan.

Priyanto menolak mentah-mentah saran dari Andreas dan Koptu Ahmad Soleh (saksi tiga) yang saat kejadian duduk di bangku tengah dalam keadaan setengah jongkok dekat jasad Salsabila.
"Dijawab terdakwa 'Kita itu tentara, kamu tidak usah cengeng. Tidak usah panik. Pokoknya cukup kita bertiga yang tahu'. Lalu terdakwa, saksi dua dan saksi tiga kembali melanjutkan perjalanan," tutur Wirdel.
Mengaku Ngebom tanpa Ketahuan
Bukan sekali, tapi Andreas berkali-kali mendebat Priyanto agar mau bertanggung jawab atas dua korban yang ditabraknya.
"Kita balik saja pak. Kemudian dijawab terdakwa 'Ikuti perintah saya, kita lanjut saja'," kata Wirdel.
Demi meyakinkan bahwa aksi pembuangan korban itu tidak ketahuan, Priyanto sampai mengaku pernah melakukan pengeboman rumah tanpa ketahuan.
"Dijawab terdakwa dengan berkata 'saya itu dulu pernah mengebom satu rumah, enggak ketahuan'," ujar Wilder menirukan pernyataan Priyanto.
Dakwaan Gabungan
Priyanto akhirnya didakwa bersalah atas pembunuhan sejoli Handi dan Salsabila dengan jeratan dakwaan gabungan.
"Jadi ada primer subsider dan di bawahnya itu dakwaan gabungan. Untuk pasal primer subsider adalah pembunuhan berencana," kata Wirdel di Pengadilan Militer Tinggi II Jakarta, Selasa (8/3/2022).
Pasal Primer 340 KUHP tentang Pembunuhan Berencana jo Pasal 55 ayat 1 KUHP tentang Penyertaan Pidana, Subsider Pasal 338 KUHP tentang Pembunuhan, jo Pasal 55 ayat 1 KUHP.
Baca juga: Hari Ini Kolonel Priyanto Tokoh Utama Tabrak Lari Sejoli di Nagreg Jalani Sidang Dakwaan
Subsider pertama Pasal 328 KUHP tentang Penculikan juncto Pasal 55 ayat 1 KUHP, subsider kedua Pasal 333 KUHP Kejahatan Terhadap Kemerdekaan Orang juncto Pasal 55 ayat 1 KUHP.
Subsider ketiga Pasal 181 KUHP tentang Mengubur, Menyembunyikan, Membawa Lari, atau Menghilangkan Mayat dengan Maksud Menyembunyikan Kematian jo Pasal 55 ayat 1 KUHP.

Bila mengacu pada pasal 340 KUHP yang dijadikan dakwaan primer, Priyanto terancam hukuman mati, penjara seumur hidup atau selama rentan waktu tertentu, atau paling lama 20 tahun penjara.
"Menuntut agar perkara terdakwa tersebut dalam surat dakwaan diperiksa dan diadili di persidangan Pengadilan Militer Tinggi II Jakarta," ujar Wilder saat membacakan surat dakwaan.
Dalam perkara tabrak lari menewaskan Salsabila dan Handi pada 8 Desember 2021 sebenarnya terdapat tiga terdakwa, yakni Priyanto dan Koptu Ahmad Sholeh serta Kopda Andreas Dwi Atmoko.

Tapi Ahmad dan Dwi diadili terpisah pada dua perkara, yakni kecelakaan lalu lintas di Pengadilan Militer Bandung, sementara perkara pembuangan mayat di Pengadilan Militer Yogyakarta.
Pembagian tempat pengadilan ini berdasarkan tempat kejadian perkara kedua korban ditabrak di Jalan Raya Nagreg, Bandung, sementara pembuangan mayat di Sungai Serayu, Jawa Tengah.
"Karena kan kejadian kecelakaan kan termasuk wilayah hukum Bandung. Jadi beda tempat kecelakaan dengan tempat pembuangan mayat. Sementara pamen di wilayah hukum di sini," lanjut Wirdel.
Baca juga: Kolonel Priyanto akan Didakwa Pembunuhan Berencana hingga Menghilangkan Mayat Sejoli di Nagreg
Dari hasil penyelidikan Puspom TNI ketiganya terbukti menabrak kedua korban di kawasan Nagreg lalu membuang jasad korban di Sungai Serayu, Jawa Tengah untuk menghilangkan barang bukti.
Berdasar hasil pemeriksaan tim dokter Biddokes Polda Jawa Tengah saat dibuang ke aliran sungai Handi dalam keadaan hidup, ini didapati karena adanya temuan air dan pasir dalam paru.