Modus Pelaku Scam

Cinta Palsu di Dunia Maya: Kenali Pola Love Scam yang Mulai Menyasar Usia 25 Tahun ke Atas

Penipuan berkedok asmara atau love scamming kian marak di Indonesia. Mereka menyasar para wanita yang sudah matang secara usia dan finansial.

ilustrasi Love Scam. Unsplash
LOVE SCAMMING - Penipuan berkedok asmara atau love scamming kian marak di Indonesia. Mereka menyasar para wanita yang sudah matang secara usia dan finansial. 

TRIBUNJAKARTA.COM - Penipuan berkedok asmara atau love scamming kian marak di Indonesia. Mereka menyasar para wanita yang sudah matang secara usia dan finansial.

Namun, framing selama ini terkesan menyudutkan perempuan. Hal itu membuat banyak korban memilih diam meskipun mengalami kerugian cukup banyak, bahkan sampai miliaran rupiah dari 'cinta palsu ini'.

Pendiri Komunitas Safe Dating Apps, Helinsa Kaban mengatakan, kejahatan love scamming memang mengalami peningkatan dalam beberapa tahun terakhir.

"Banyak korban kurang nyaman untuk melaporkan kasusnya karena kesan yang terbangun bahwa mereka itu bodoh sekali kenapa bisa sampai tertipu," kata Helinsa saat berbincang dengan TribunJakarta.com di awal November 2025.

Pola Love Scamming

Helinsa menjelaskan, pola love scamming ini dimulai dari interaksi di aplikasi kencan daring.

Pelaku biasanya menargetkan korban berusia 25–40 tahun yang dinilai sudah mapan secara finansial.

“Mereka membangun kedekatan dulu, biasanya lewat obrolan malam hari di atas jam 10. Setelah bonding terbentuk, barulah modus dijalankan,” ujar Helinsa.

Sepekan Jadi Penentu

Helinsa menjelaskan, biasanya pelaku menargetkan waktu dua pekan sampai satu bulan untuk memastikan korban termakan cinta palsunya.

"Jadi kalau dari awal si scammer sudah merasa bahwa ini orang tidak bisa dimanipulasi, mereka akan unmatch atau mereka akan ghosting orang itu secepatnya dalam kurun waktu kurang dari seminggu. Ini pola yang biasanya terjadi," ujar Helinsa.

Lisboa dan Makau

Menurut Helinsa, pelaku akan berperan sebagai sosok profesional dan hangat.

Helinsa menyebut salah satu modus yang kerap digunakan dikenal dengan istilah “Lisboa dan Makau”, di mana pelaku yang mengaku bekerja di bidang IT berpura-pura menjalin hubungan romantis secara daring untuk memancing korban melakukan transaksi keuangan.

Setelah hubungan daring berjalan satu hingga dua minggu, pelaku akan mengaku mendapat penugasan ke luar negeri seperti ke Lisboa atau Makau untuk mengelola situs judi online.

Di situlah perangkap mulai dimainkan pelaku.

“Mereka akan bilang menemukan error atau glitch di sistem kasino online. Dari situ korban diminta ikut masuk ke sistem dengan cara mengklik tautan dan melakukan deposit,” jelasnya.

Pelaku meyakinkan korban bahwa dana tersebut aman karena akan dikelola oleh “orang dalam” alias ordal.

Namun, setelah korban mentransfer uang dananya tidak bisa ditarik kembali.

“Skenarionya template, polanya sama semua. Bahkan ada yang rugi sampai lebih dari Rp600 juta,” ungkapnya.

Sindikat Terorganisir

Helinsa menyebut, kasus love scam jenis ini bukan aksi individu, melainkan sindikat yang sangat terorganisir.

Dari hasil pelacakan blockchain terhadap transaksi kripto korban, sebagian besar dana dilacak mengalir ke Kamboja.

“Ini bukan sekadar orang pakai foto palsu di dating apps. Mereka punya sistem dan peran masing-masing, sangat rapi,” tegasnya.

Mengapa Korban Mudah Terjebak

Helinsa kemudian menjelaskan mengapa banyak wanita menjadi korbannya. Ia menyebut faktor emosional menjadi kunci keberhasilan modus ini.

Korban umumnya mengalami kesepian, tekanan sosial karena usia, atau harapan untuk segera menikah.

“Korban sering merasa akhirnya ada yang perhatian, memahami mereka, padahal itu manipulasi emosional,” jelas Helinsa.

Selain itu, persepsi negatif masyarakat terhadap korban penipuan membuat banyak dari mereka enggan melapor.

“Mereka takut dianggap bodoh. Padahal sebagian besar berpendidikan tinggi dan punya karier bagus,” tambahnya.

Edukasi Jadi Kunci Pencegahan

Helinsa melalui komunitas Safe Dating Apps terus melakukan edukasi agar masyarakat lebih waspada terhadap berbagai modus love scam.

Komunitas yang didirikannya ini kini memiliki sekitar 500 anggota aktif yang berisikan para korban.

"Dan grup whatsapp kita juga hanya untuk perempuan, untuk meminimalisasi risiko yang tidak diinginkan," ujarnya.

Ia berharap lembaga seperti Indonesia Anti-Scam Centre (IASC) bisa lebih menyentuh masyarakat langsung.

Sebab, selama ini, laporan yang dilayangkan para korban kepada penegak hukum hanya sekadar formalitas dan tak banyak yang sampai pelakunya ditangkap.

“Edukasi IASC selama ini masih bersifat antar-lembaga. Padahal masyarakat perlu informasi praktis supaya tidak jadi korban berikutnya,” tuturnya.

Berita terkait

Baca berita TribunJakarta.com lainnya di Google News atau langsung di halaman Indeks Berita

Sumber: Tribun Jakarta
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved