Purbaya Ogah Ikut Restrukturisasi Utang Whoosh, Jokowi di Solo: Transportasi Umum Bukan Cari Laba
Menkeu Purbaya Yudhi Sadewa pastikan tidak terlibat dalam tim restrukturisasi utang Whoosh. Jokowi ingatkan transportasi umum bukan cari laba.
Menurut Mahfud saat itu disepakati, berdasarkan hitungan ahli dari UI dan UGM, proyek Whoosh bisa dibangun dengan bunga 0,1 persen dengan Jepang.
"Tiba-tiba sesudah Jepang minta kenaikan sedikit gitu, oleh pemerintah Indonesia dibatalkan. Di pindah ke China, dengan bunga 2 persen. Dengan overrun pembengkakan kemudian menjadi 3,4 persen . Yang terjadi itu. Nah, sekarang kita gak mampu bayar," papar Mahfud.
Mahfud mengungkapkan ketika kerja sama dipindah dari Jepang ke China, Menteri Perhubungan saat itu Ignatius Jonan menyatakan tidak setuju.
Jonan, kata Mahfud mengatakan ke Presiden Jokowi bahwa perjanjian atau kesepakatan dengan China tidak visible atau tidak bisa dilihat keuntungannya.
"Pak,ini tidak visible, kata Pak Jonan. Pak Jonannya dipecat, digantikan. Sudah itu dia (Presiden Jokowi-Red) manggil ahli namanya Agus Pambagio," ujar Mahfud.
Jokowi lalu menanyakan hal yang sama ke Agus Pambagio selaku pengamat ekonomi.
"Presiden manggil nih. Iya Pak Jokowi. Sesudah mecat Jonatan, dia tanya ke Agus. 'Pak Agus, gimana ini Pak?' Ini tidak visibel, rugi negara, menurut Agus," kata Mahfud.
Karenanya Agus Pambagio menanyakan ke Jokowi, ide siapa pembangunan kereta cepat yang kerja sama dengan China itu.
"Ini atas ide siapa? Kata Agus. Kok bisa pindah dari Jepang ke China itu dan biayanya besar? Atas ide saya, kata Jokowi. Kata Presiden atas ide saya sendiri gitu," papar Mahfud.
Lalu menurutnya Agus menjawab karena ide Presiden dan mau dijadikan kebijakan, maka Agus mengaku tidak bisa berbuat apa-apa.
"Dan pergi si Agus. Ternyata sekarang gak mampu bayar," ujar Mahfud.
Karenanya tambah Mahfud, keputusan Menkeu Purbaya yang enggan membayar utang proyek Whoosh adalah benar.
"Menurut saya benar Purbaya. Karena apa, Mas? Ini masalahnya sangat memberatkan bangsa. Kita membangun itu menghilangkan pembangunan-pembangunan untuk rakyat yang lain, kan hanya disedot untuk ini," ungkap Mahfud.
Mahfud menjelaskan jika pemerintah tidak mampu membayar maka kerjasama B2B itu bisa dipailitkan.
"Atau itu diserahkan ke Danantara. Tapi apa mau dibail out oleh negara terus terus-terusan. Nah, ini yang harus diteliti karena ada dugaan mark up," ungkap Mahfud.
Ia menjelaskan dugaan mark-up yang dimaksud.
"Dugaan mark upnya gini. Itu harus diperiksa ini uang lari ke mana. Menurut perhitungan pihak Indonesia, biaya per 1 km kereta Whoosh itu 52 juta US dolar. Tapi di China sendiri hitungannya hanya 17 sampai 18 juta US dolar. Jadi naik tiga kali lipat kan. Ini yang menaikkan siapa? Uangnya ke mana?" kata Mahfud,
Apalagi menurut Mahfud naiknya atau dugaan mark-up sampai 3 kali lipat.
"Nah, itu markup. Harus diteliti siapa dulu yang melakukan ini," kata Mahfud.
Mahfud menjelaskan proyek Whoosh ini juga bisa mengancam masa depan dan kedaulatan bangsa dan rakyat, akibat utang yang sangat besar.
"Karena misalnya kita gagal bayar, itu kan berarti China harus mengambil, tapi kan gak mungkin ngambil barang di tengah kota. Pasti dia minta kompensasi ke samping misalnya Natuna Utara. Karena itu pernah terjadi ke Sri Lanka. Sri Lanka juga melakukan kayak gini ya. Membangun pelabuhan gak mampu bayar pelabuhannya diambil sampai sekarang oleh China" ujar Mahfud.
Sementara di Indonesia, kata Mahfud, China bisa meminta kompensasi menguasai Natuna Utara dan membangun pangkalan di sana selama 80 tahun.
"Nah, itu masalahnya. Jadi betul Pak Purbaya, Anda didukung oleh rakyat jangan bayar Whoosh dengan APBN. Kemudian carikan jalan keluar agar tidak disita karena pailit atau dikuasainya Natuna," ujarnya.
Mahfud mengatakan utang yang sangat besar dalam proyek Whoosh ini sangat aneh.
"Sangat aneh karena ini merupakan satu bisnis B2B, bisnis to bisnis, BUMN dan BUMN sana. Tetapi sekarang hutangnya bertambah terus. Bunga hutangnya saja setahun itu Rp 2 triliun. Bunga hutang saja. Sementara dari tiket hanya mendapat maksimal 1,5 triliun. Jadi setiap tahun bertambah kan, bunga berbunga terus, negara nomboki terus," ujarnya.
Menurut Mahfud kalau melihat terminnya, maka hal itu bisa terjadi sampai 70 atau 80 tahun, baru Indonesia melunasi utang Whoosh dari China.
Karenanya Mahfud mengusulkan selain Menkeu Purbaya mencari jalan lain membayar utang bukan dari APBN, maka negara harus menyelesaikan secara hukum.
"Negara harus menyelesaikan secara hukum. Hukum pidananya bisa ada, kalau itu betul mark up. Karena menurut Pak Agus ee Pak Antoni Budiawan di China itu harganya dulunya hanya disebutkan 17 sampai 18 US Dolar kok per kilometer. Sekarang jadi 53 juta US dolar. Nah, ini harus diselidiki. Kalau itu benar terjadi, maka itu pidana dan harus dicari. Tapi juga ada perdatanya nantinya," kata Mahfud.
Masalah perdata katanya berhubungan antara yang bersangkutan dengan uang negara.
"Tapi saya lebih cenderung selesaikan pidananya, agar bangsa ini tidak terbiasa membiarkan orang bersalah, ya sudah lewat kita maafkan. Itu kan selalu terjadi begitu dari waktu ke waktu. Padahal ini lebih gila lagi ini ya. Sehingga menurut saya, saya acungi jempol Pak Purbaya," ujarnya.
Latar Belakang
Proyek Whoosh sendiri awalnya digagas sejak era Presiden RI ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada 2011, dengan Jepang sebagai mitra utama melalui JICA (Japan International Cooperation Agency).
Jepang telah melakukan studi kelayakan hingga menggelontorkan biaya sebesar 3,5 juta dollar AS, dan menawarkan pinjaman bunga rendah 0,1 persen dengan tenor 40 tahun, memakai skema Government-to-Government (G2G) dan biaya estimasi 5 hingga 6,2 miliar dollar AS.
Namun, pada 2015, Jokowi mendadak memilih China sebagai mitra untuk membangun Whoosh.
Alasannya, China menawarkan skema Business-to-Business (B2B) tanpa jaminan APBN, berbagi teknologi lebih luas, dan pinjaman sebesar 5 miliar dollar AS tanpa syarat ketat seperti Jepang, meski bunganya lebih tinggi, yakni 2 hingga 3,4 persen
Rocky Gerung juga menyebut, dari polemik Whoosh ini, Jokowi terlalu memaksakan proyek tanpa izin pada masyarakat Indonesia.
Hal ini dilihat dari urgensi Whoosh yang sebenarnya tidak terlalu mendesak, hingga akhirnya ketika terus berjalan, proyek tersebut justru membawa beban utang yang tidak kecil.
Seperti diketahui, proyek ambisius Whoosh benar-benar digarap pada pemerintahan Jokowi.
Melalui cap proyek strategis nasional (PSN) berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres) No. 3 Tahun 2016, proyek yang didanai sebagian besar menggunakan utang dari China Developement Bank (CDB) itu dikebut.
Ayah Wapres Gibran Rakabuming Raka itu juga yang meletakkan batu pertama pada Januari 2016, dan meresmikannya pada 2 Oktober 2023.
Sampai pertengahan 2025, jumlah penumpang Whoosh sebanyak 16 ribu sampai 18 ribu orang per hari pada hari kerja, dan 18 ribu sampai 22 ribu per hari pada akhir pekan.
Angka tersebut belum menyentuh target 31 ribu penumpang per hari yang dicanangkan sejak awal.
Proyek KCIC mengalami pembengkakan biaya (cost overrun) sebesar 1,2 miliar dollar AS atau sekitar Rp19,54 triliun, dari biaya awal yang direncanakan 6,07 miliar dollar AS.
Sehingga, total investasi proyek Whoosh mencapai 7,2 miliar dollar AS atau sekitar Rp116 triliun.
Untuk membiayai investasi 7,2 miliar dollar AS pada proyek ini, 75 persen di antaranya didapat dari pinjaman China Development Bank.
Sementara sisanya berasal dari setoran modal pemegang saham, yaitu PT KCIC yang merupakan gabungan dari PSBI (60 persen) dan Beijing Yawan HSR Co Ltd (40 persen).
PSBI sendiri merupakan PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia, konsorsium sejumlah BUMN pada proyek KCIC.
Whoosh, yang notabene merupakan program yang dibangga-banggakan oleh Jokowi jelas memberikan tekanan besar terhadap kinerja keuangan PT KAI (Persero).
Utang untuk pembiayaan proyek Whoosh membuat PSBI mencatat kerugian senilai Rp1,625 triliun pada semester I-2025.
Karena menjadi lead konsosrium PSBI, maka PT KAI (Persero) menanggung porsi kerugian paling besar, yakni Rp951,48 miliar per Juni 2025, jika dibanding tiga BUMN anggota konsorsium PSBI lainnya.
Sehingga, beban yang ditanggung PT KAI (Persero) begitu berat, baik dalam bentuk biaya operasional kereta cepat maupun pengembalian utang.
Berita Terkait
- Baca juga: Profil Hasan Nasbi yang Kritik Gaya Koboi Menkeu Purbaya, Komisaris Pertamina Berharta Rp41 Miliar
- Baca juga: Jawaban Menkeu Purbaya Soal Kritikan Hasan Nasbi, Ungkap Sosok Penting yang Buatnya Bergaya Koboi
- Baca juga: Belum Genap 2 Bulan Bertugas, Menkeu Purbaya Berani Ancam & Tangkap Pedagang Baju Bekas Impor Ilegal
Baca berita TribunJakarta.com lainnya di Google News atau langsung di halaman Indeks Berita

Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.