IPW Minta Pembahasan RKUHAP Libatkan Akademisi dan Jamin Perlindungan HAM

IPW menilai pembahasan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) harus dilakukan secara komprehensif

(KOMPAS.com/VINCENTIUS MARIO)
IPW BICARA RKUHAP - Ketua IPW, Sugeng Teguh Santoso, saat ditemui di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Rabu (29/12/2021). Sugeng menilai pembahasan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) harus dilakukan secara komprehensif 

Laporan Wartawan TribunJakarta.com Elga Hikari Putra

TRIBUNJAKARTA.COM – Ketua Indonesia Police Watch (IPW), Sugeng Teguh Santoso, menilai pembahasan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) harus dilakukan secara komprehensif dan melibatkan berbagai pihak, termasuk akademisi dari perguruan tinggi.

Sugeng menyebutkan bahwa proses legislasi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, mewajibkan adanya partisipasi publik, termasuk kajian dari lembaga-lembaga akademik. 

Ia menyoroti masih minimnya pelibatan perguruan tinggi dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) di DPR RI.

“Saya mendengar keluhan dari beberapa akademisi, mereka belum mendapatkan porsi. Jadi menurut saya, dalam RDPU perguruan-perguruan tinggi harus diundang untuk memberi masukan,” ujarnya saat dihubungi, Kamis (31/7/2025).

Sugeng juga menyoroti ketentuan yang memberi kewenangan kepada TNI sebagai penyidik tindak pidana umum dalam RKUHAP. 

Menurutnya, hal ini tidak tepat karena TNI tunduk pada hukum militer. 

Ia menilai hal yang mendesak saat ini adalah pembentukan Peradilan Tata Usaha Negara (TUN) militer yang hingga kini belum ada.

“Kalau TNI jadi penyidik tindak pidana umum, ini bisa menimbulkan potensi pelanggaran HAM,” ujarnya.

Lebih lanjut, Sugeng menekankan pentingnya penerapan prinsip diferensiasi fungsional antara penyidik dan penuntut umum. 

Ia menegaskan bahwa penyidikan harus tetap menjadi ranah kepolisian, sementara penuntutan berada di bawah kejaksaan.

Sugeng juga menyoroti terkait penyadapan. Ia menekankan bahwa tindakan tersebut hanya boleh dilakukan setelah suatu perkara dinaikkan ke tahap penyidikan. 

Sebab, menurutnya, penyadapan yang dilakukan tanpa dasar hukum yang kuat dapat melanggar hak privasi dan HAM.

“Penyadapan harus dilakukan terhadap tersangka potensial, bukan terhadap saksi," katanya.

Lebih lanjut, ia juga memandang perlu adanya lembaga lain yang mengawasi kinerja kepolisian selain Komisi III DPR RI. Sebab, selain di RKUHAP, ia menyebut perihal penyadapan juga diatur di dalam RUU Polri. 

"Kalau menurut saya harus ada lembaga yang mengawasi proses kerja kepolisian. Bukan hanya komisi III supaya privasi orang tidak dilanggar," tuturnya.

Di sisi lain, Sugeng juga menyarankan agar Koalisi Masyarakat Sipil aktif menyuarakan masukan mereka dalam pembahasan RKUHAP, baik melalui diskusi maupun forum resmi RDPU.

“Kalau hasil akhirnya tidak memuaskan dan dinilai melanggar prinsip konstitusi, jalan akhirnya bisa dibawa ke Mahkamah Konstitusi (MK),” ucapnya.

Ia berharap RKUHAP yang baru memiliki perspektif penghormatan terhadap HAM, kepastian hukum, dan mengakomodasi pendekatan restorative justice dalam penyelesaian perkara pidana.

"Sekarang kan bukan soal menghukum tapi bagaimana ada satu upaya-upaya baru dalam menyelesaikan permasalahan hukum itu dengan pendekatan restoratif justice," kata dia.

Akses TribunJakarta.com di Google News atau WhatsApp Channel TribunJakarta.com. Pastikan Tribunners sudah install aplikasi WhatsApp ya

Sumber: Tribun Jakarta
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved